Rumah
Rumah
Kehidupan memang selalu penuh misteri dan kejutan. Setiap detik, menit, jam, atau hari yang berlalu selalu membawa kisah-kisah yang tak pernah kita duga dan tak pernah kita tahu kejadiannya. Sore itu setelah sekian tahun aku tak pulang karena merantau dikota besar, pada akhirnya aku menyempatkan diri untuk pulang. Pada awalnya aku masih enggan mengingat mahalnya biaya transportasi yang harus kubayar untuk bisa sampai pada tempat yang biasa aku dan kau sebut rumah. Tapi malam harinya selepas sholat isya ibuku menghubungiku memintaku untuk pulang, tak apa jika hanya sehari atau dua hari bahkan jika hanya semalam pun ibu sudah sangat bersyukur. Hatiku yang keras ini pada akhirnya luluh oleh tatapan kerinduan dimata ibuku.
"Kak... Pulanglah barang sekali saja, satu atau dua hari tidak masalah, atau bahkan semalam saja tak masalah. Kau pasti lelah terus bekerja, disana kan tidak ada yang membuatkanmu sarapan dan makan malam. Pulang dulu ya kak..." Pinta ibuku dalam videocall semalam.
"Hmmm... Bu, kakak juga ingin pulang, tapi masih ada beberapa hal yang harus diurus disini."
Bohong, aku hanya enggan pulang kerumah dan melihat serta menyadari tentang betapa kesepiannya hidupku selama ini. Karna jika aku pulang aku akan menjadi anak gadis manja yang semua keinginannya akan dikabulkan, aku akan kembali menjadi putri kecil bapak dan ibu yang haus akan pujian. Selain itu aku sudah terbiasa dengan ramai kota yang bisa mengalahkan bising isi kepala, hingga kupikir ketika semakin sunyi dunia yang kupijak malah semakin ramai isi otak. Namun, melihat tatapan ibu yang sedikit hampir menangis aku seperti tak kuasa, betapa durhakanya aku kalau sampai melukai hatinya.
"Baiklah, kakak pulang, tapi ngga bisa lama-lama ya, paling lama mungkin 3 hari. "
Tatapan sedih itu berubah menjadi haru, ibuku mengangguk sambil tersenyum. Terdengar suara batuk bapak dari seberang sana.
"Nanti ibu masakkan makanan-makanan kesukaanmu ya."
*****
Siang hari sekitar pukul 14.00 aku sampai dirumah. Ibu menyambutku dengan pelukan singkat, aku menghampiri bapak dan mencium tangannya. Semerbak Rica-rica ayam dengan bumbu khas buatan ibu memenuhi ruang makan siang itu. Adik kecilku yang tak lagi kecil menyambutku, berjabat tangan singkat lantas membantuku membawa beberapa barangku ke kamar.
Kamar ini masih sama, gorden putih dengan motif bunga, rak-rak buku dan piala yang tertata rapi. Semua masih sama seakan tak pernah ditinggalkan pemiliknya. Ibu memang pandai merawat semua hal. Selepas membereskan semua barang bawaan, kami makan bersama. Tak banyak hal yang kami bicarakan, sekedar bertanya bagaimana kabar satu sama lain, bagaimana pekerjaanku akhir-akhir ini serta bagaimana orang-orang disekitarku memperlakukanku.
Aku memutuskan untuk istirahat karena jarak dari kota besar kerumah memakan waktu sehari semalam. Nyaman, tak ada bising kota disini, hanya ada bising kepala yang tak pernah kuketahui kapan akan menjadi sunyi.
*****
Sore hari selepas sholat ashar aku duduk diberanda, ditemani secangkir teh hangat dan bolu kukus buatan ibu. Bapak dengan kaos berlengan pendek dan sarung motif kotak-kotaknya datang menghampiriku sambil memegang secangkir kopi. Kau tau atmosfer apa yang pertama kurasakan? Canggung. Aku tak tau mengapa aku selalu merasa canggung pada bapaku sendiri, padahal ia bapak kandungku. Tak ada percakapan, hanya suara dersik dedaunan yang diterpa angin. Bapak mengambil koran hari ini, membuka dan membacanya baris demi baris. Kecanggungan ini sungguh menjengkelkan.
Aku menoleh, dan menatap lekat-lekat lelaki yang umurnya sudah lebih dari setengah abad ini. Kau tahu, ternyata banyak hal yang tanpa kita sadari sudah berubah selama ini.
Melihat bapak yang rambutnya mulai memutih, perutnya buncit dan kerutan diwajahnya semakin banyak. Mataku mulai berkaca-kaca mengingat betapa ruginya aku selama ini. Aku tak pernah tau karena berada jauh diseberang kota sana, aku tak pernah tahu bahwa lelaki yang dulu sering menggendongku dipunggungnya ini sudah tak lagi muda.
Aku mengamati satu persatu bagian-bagian tubuhnya yang menjadi saksi dari berapa lama waktu yang telah ia lewati. Mata yang tak lagi jernih, gigi yang mulai tanggal, serta jari-jari yang mulai mengeriput. Betapa bodohnya aku selama ini karena selalu bertahan dengan ingatan lama. Bapak yang ada dalam bayanganku selama aku dikota adalah bapak pada usia 25 tahun yang lalu.
Kau tau, part yang paling menyedihkan dari semua ini adalah aku yang tak pernah bisa menemani perubahan-perubahan pada diri orangtuaku. Aku tak tahu sejak kapan bapak dan ibu yang selalu bisa kuandalkan untuk mengajariku tentang cara menggunakan barang-barang elektronik ini mulai menjadi orang tua yang tak tahu apa-apa tentang perkembangan teknologi dunia. Yang mereka tahu hanya bagaimana cara menghubungiku melalui whatsapp.
Aku merasa malu karena kupikir aku masih punya 100 tahun yang bisa kuhabiskan bersama mereka. Alasanku untuk selalu menjawab nanti-nanti saja tiap kali mereka memintaku pulang. Kupikir manusia hanya butuh uang untuk hidup dan bahagia, kupikir aku harus mengembalikan semua dana yang mereka beri untuk membesarkanku, tapi aku salah. Bapak dan ibu hanya ingin tuan putri kecilnya hidup dengan baik tanpa merasa terlalu lelah dengan hiruk pikuk dunia. Bapak dan ibu hanya selalu berharap aku dan adiku menjalani kehidupan yang lebih baik dari mereka.
Mataku mulai berair dan dadaku mulai sesak, kau pasti juga tahu seberapa sesak rasanya menahan tangis. Kalau kata orang-orang rasanya seperti ada gumpalan duri yang mencekik lehermu. Aku sudah tak kuasa menahan ini, akhirnya aku terisak kecil. Bapak yang tadinya diam sambil membaca kemudian menoleh dengan tergesa. Bapak bertanya kenapa? Apa aku sakit? Apa ada orang yang jahat padaku? Atau apa aku kehilangan sesuatu? Aku hanya menunduk sambil menyeka air mata.
"Kakak ngga tau kalo ternyata sebenernya kakak sekangen ini sama bapak, ibu, sama adek juga." Ucapku setengah terbata ditengah isakan.
Bapak tersenyum hangat melihatku, ia mengusap kepalaku lalu menepuk-nepuk pundakku perlahan.
"Kamu sudah besar ya nak, padahal seinget bapak kamu masih anak kecil yang tidak pernah mau lepas dari genggaman ibu. Rasanya baru kemarin bapak buatin kamu ayunan didepan rumah karna pengen kayak anak-anak difilm yang ada di tv." Ucap bapak dengan nada kerinduan yang mendalam.
Aku selalu meduga bahwa aku yang ada diingatan bapak adalah aku yang masih merengek minta dibelikan eskrim varian baru seperti diiklan Tv. Bahkan didompet bapak masih tersimpan fotoku dan adiku yang masih TK. Padahal sudah kubuatkan foto kami sekeluarga dengan aku versi terbaru tapi bapak memang seakan enggan mengganti foto itu. Aku tak pernah tahu bagaimana orangtuaku memandangku atau bagaimana orangtuaku memikirkanku. Karena kami memang bukan keluarga dengan tingkat romantisasi yang tinggi. Alih-alih berkata bahwa kami saling merindukan, biasanya kami hanya bertanya kabar dan bertanya kapan aku atau adiku sempat pulang. Banyak cinta yang tak pernah terucap lewat kata namun banyak kami salurkan melalui tindakan.
Menyadari semua ini aku jadi semakin kecewa dan menyesal, harusnya kuluangkan lebih banyak waktu untuk mereka. Harusnya lebih banyak kuungkapkan cinta pada mereka. Oh Tuhan, tolong biarkan mereka berada disisiku lebih lama. Akan kutebus hari-hari sepi yang mereka lalui berdua saja, akan kuusahakan untuk selalu pulang tepat waktu dihari raya. Semoga pada petang-petang yang akan datang, aku masih sempat menemani bapak menikmati kopinya. Semoga pada fajar-fajar yang akan datang, aku masih sempat membantu ibu membereskan cuciannya. Aku yang lalai ini memang perlu selalu diingatkan dengan teguran keras. Tolong jaga mereka, tak apa jika aku harus korbankan slot usiaku untuk mereka asalkan engkau bisa memberinya hari-hari yang bahagia.
Komentar
Posting Komentar